Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Pages

Responsive Ad

Kenapa Upaya Mengganti kata KAFIR Begitu Menegangkan? "Bagian awal"

Syamsul Hidayat Daud, Eskisehir Osmangazi University Turkey Pada praksisnya setidaknya ada beberapa konsekuensi penggunaan kata KAFIR dalam ...

Syamsul Hidayat Daud, Eskisehir Osmangazi University Turkey

Pada praksisnya setidaknya ada beberapa konsekuensi penggunaan kata KAFIR dalam kehidupan umat Islam dalam segala aspeknya, di antaranya Memperjelas batas aqidah, Panduan praktik fiqh keseharian, Mengecam sifat tercela dalam islam, Panduan memilih pemimpin, Etika membangun relasi dengan umat di luar Islam dan konsekuensi-konsekuensi lainnya.

Kita fahami bersama bahwa islam istilah KAFIR tidak hanya merujuk pada “orang-orang yang tidak mentauhidkan Allah SWT dan tidak menerima Muhammad saw sebagai rasul”, orang islam yang tidak mensyukuri nikmat Allah SWT dikatakan sebagai KAFIR.

Meskipun demikian, tentu akan berbeda cara umat islam dalam memperlakukan orang KAFIR karena tidak bertauhid kepada Allah SWT dan menerima Rasul Muhammad dengan orang islam yang tidak mensyukuri nikmat.

Bagi umat islam, kita tetap akan menyelenggarakan jenazah (memandikan, mengkafankan, mensholatkan dan menguburkan) sesuai tuntunan islam terhadap “orang islam yang tidak mensyukuri nikmat”. Tentu kita tidak akan menyelenggarakan jenazah orang selain islam dengan cara yang sama.

Balik ke pertanyaan di atas, kenapa menghapus istilah KAFIR ini begitu menyita perhatian?
Pertama, umat jadi bingung, apa iya rekomendasi ini dibutuhkan?. Jika yang dimaksudkan agar mempererat hubungan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka tanpa menunggu rekomendasi NU umat islam Indonesia sudah malakukan hal semisal dengan rekomendasi ini.

Kita sering menjumpai dalam acara-acara publik dimana umat Islam menggunakan istilah “umat agama lain” atau bagi “non muslim” dan istilah-istilah sejenisnya. Jika hanya berpijak pada alasan untuk menjaga persaudaran dalam kehidupan berbangsa dan negara maka ini hanya memperjelas hal yang sudah jelas bahkan tidak perlu diperjelas, karena hal semacam ini sudah dilakukan sejak lama.

Di Arab Saudi sekalipun, di area publik sudah menggunakan istilah non muslim (ghoiru muslim) untuk menghindari pemakaian istilah KAFIR.

Tapi INGAT, meskipun di area publik kata KAFIR diganti dengan kata non muslim (ghoiru muslim), tidak serta merta menjadikan Arab Saudi membolehkan orang KAFIR (jenis yang tidak mentauhidkan Allah SWT dan tidak menerima kerasulan Muhammad saw) masuk kota Mekkah.

Yang pernah membaca fikih tahu alasan theologis kenapa orang KAFIR jenis itu dilarang masuk Mekkah.

Kedua, umat curiga jika ini merupakan anjuran yang mengarah pada “peniadaan” perbedaan akidah.Dikhawatirkan kedepannya umat didorong untuk berkeyakinan bahwa secara akidah kita akan mengagap sama orang yang bertauhid kepada Allah SWT dan menerima kerasulan Muhammad saw dengan yang tidak, Umat curiga ini mengarah kepada penyebaran PLURALISME AKIDAH yang MRELATIFKAN kebenaran agama-agama.

Ini saya rasa tidak pernah menjadi doktrin resmi di dalam NU, dan berdasarkan dokumen-dokumen resmi organisasi pemahaman seperti ini tidak dianut oleh NU. Dalam hasil sidang Bahtsul Masail NU kemarin ini tidak ada. Karena ini nyeleneh dan jelas-jelas menyimpang.

Orang-orang yang menganggap NU mengarahkan ummat pada point ini tentunya mereka sedang salah faham dengan NU, kerena nyatanya NU tidak pernah sejauh itu mengeluarkan Fatwa secara resmi.

Ketiga, Mengganti kata KAFIR dirurigai sebagai upaya untuk mendorong umat islam agar mau memilih orang KAFIR (jenis yang tidak mentauhidkan Allah dan tidak menerima kerasulan Muhammad) sebagai pemimpin tanpa harus merasa melanggar ketentuan agama, apalagi rasa takut akan berdosa (atau keyakinan berdasarkan beban theologis yang sejenis).

Meskipun point ini secara eksplisit juga tidak tertera dalam hasil sidang Bahtsul Masail, tetapi jangan salahkan umat jika cenderung kepada pemahaman seperti ini. Mengganti “KAFIR” sebagai “Muwathinun atau warga Negara” memiliki konsekuensi menerima segala atribut yang melekat pada dirinya yaitu hak-hak warga Negara termasuk di dalamnya hak untuk “memilih dan dipilih sebagai pemimpin”.

Sekali lagi ini tidak secara eksplisit tertuang dalam hasil sidang Bahtsul Masail, tetapi ada beberapa alasan kuat kenapa umat mencurigai upaya untuk mengganti isilah KAFIR dengan istilah “MUWATHINUN atau WARGA NEGARA” memiliki tujuan “sampingan” untuk mengarahkan umat agar mau memilih pemimpin KAFIR (jenis tidak mentauhidkan ALLAH SWT dan tidak menerima kerasulan Muhammad saw) tanpa harus merasa berdosa.(Bersambung)


Penulis: Syamsul Hidayat Daud,Mahasiswa Program Doktoral Eskisehir Osmangazi University Turkey

Reponsive Ads