Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Pages

Responsive Ad

Seputar Polemik Tentang Kafir "Bagian Akhir"

Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan MUI Tulisan ini merupakan sambungan dari Seputar Polemik Tentang Kafir " Bagian Pertama dan ked...

Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan MUI
Tulisan ini merupakan sambungan dari Seputar Polemik Tentang Kafir " Bagian Pertama dan kedua "


Munculnya Polemik  Tentang Kafir  membuat  Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia   Muhammad  Din Syamsuddin menyampaikan pandangannya yang di kirim melalui media Sosial, redaksi suara.id mencoba mebagi tulisan menjadi tiga bagian  berikut ini adalah bagian akhir

Dalam Pesan Bogor yang dikeluarkan dari Konsultasi Tingkat Tinggi Ulama dan Cendekiawan Muslim Sedunia di Bogor, 1-3 Mei 2018 ttg Wasathiyyat Islam, istilah/konsep muwathanah menjadi aspek ketujuh dari Wasathiyyat Islam (enam yang pertama: i'tidal, tawazun, tasamuh, syura, ishlah, qudwah). Sebagai ciri dari Ummatan Wasathan (Ummat Tengahan) yang berorientasi pada Wasathiyyat Islam, muwathanah dipahami sebagai kewarganegaraan yang berpangkal pada pengakuan eksistensi negara-bangsa di mana seseorang berada, dan berlanjut pada peran serta aktif membangun negara. Konsep ini sebenarnya didasarkan pada pemahaman tentang dokumen- dokumen dasar dalam Sejarah Islam, seperti Piagam Madinah.

Dalam konteks keragaman bentuk pemerintahan negara-negara Islam, dan  desakan penerapan demokrasi dewasa ini isu nuwathanah/kewarganegaraan menjadi krusial. Arus migrasi antar negara terakhir ini membawa munculnya masalah identitas dan integrasi kaum migran. Maka isu muwathanah/citizenship menjadi krusial dan polemikal seperti yang terjadi di Eropa dan Amerika sehubungan dengan membanjirnya arus migrasi dari negara-negar di Timur Tengah.

Dalam konteks Indonesia isu muwathanah/kewarganegaraan ini sebenarnya sudah lama selesai (bukan menjadi masalah kontroversial). Hal ini disebabkan oleh karena Indonesia dari awal kelahirannya sdh memiliki kesepakatan seperti Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, yang oleh semua pihak (seperti Kesepakatan Pemuka Agama-Agama dari Musyawarah Besar Pemuka Agama-Agama untuk Kerukunan Bangsa, Jakarta 8-11 Pebruari 2018) keduanya dianggap merupakan kristalisasi nilai-nilai agama.

Sebelumnya,pada 2015, Muhammadiyah sudah menegaskan suatu wawasan bahwa Negara Pancasila adalah Darul 'Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Dalam kaitan ini, konsep muwathanah tidak ada masalah di Indonesia dan sudah lama dipraktekkan dalam  kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Derajat stabilitas dan kerukunan nasional yang tinggi adalah buah dari muwathanah yang bertumpu pada ko-eksistensi, toleransi, dan kerja sama antar anak-anak bangsa. Gejala intoleransi dan ekskkusi lebih merupakan ekspresi dari aksi-reaksi terhadap masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi.

 Implementasi muwathanah/kewarganegaraan menjadi bersifat kontroversial terkait dengan paradigma demokrasi yang dipilih bangsa. Jika demokrasi dipahami sebagai manifestasi "political liberty and equality" (kebebasan dan persamaan hak politik) warga negara, maka muwathanah menuntut pemberlakuan meritokrasi (performa dan rekrutmen politik berdasarkan prestasi individual. Sebagai konsekwensi logis, tidak ada dan tidak relevan lagi diangkat isu mayoritas-minoritas sbg realitas demografis keagamaan. Sebaliknya, jika realitas mayoritas-minoritas demografis apalagi dikaitkan dgn realitas historis dan sosilogis, maka paradigma demokrasi yang diterapkan akan bersifat kultural.

Problema yang belum dijawab oleh Demokrasi Pancasila adalah apakah Sila Keempat Pancasila itu mengandung arti Demokrasi Liberal (Liberal Democracy) yang antara lain mendesakkan psudo meritokrasi,  ataukah Demokrasi Multikultural (Multicultural Democracy) yang menuntut inklusi, toleransi, dan solidaritas sosial, atau lainnya. Pilihan bangsa terhadap corak demokrasi yang ingin diterapkan berhubungan erat dengan konsep muwathanah yang perlu kita pahami. Maka pada hemat saya, tafsir jama'i terhadap Sila Keempat dari Pancasila itu jauh lebih mendesak tinimbang mengangkat isu muwathin/warga negara dengan mengaitkannya dgn istilah kafir terutama pada suasana politik sensitif yang rentan memunculkan prasangka buruk yang tidak semstinya. Di sinilah letak kerancuannya: konsep sosial-politik dikaitkan dengan konsep teologis-etis.

Tapi mungkin dapat dipahami maksudnya: Janganlah bawa-bawa agama ke dalam politik (seperti menyebut istilah kafir kepada sesama anak bangsa karena mereka adalah sesama rakyat warga negara atau muwathin).  Kalau demikian adanya, maka itu merupakan "pandangan hukum keagamaan atau fatwa". Oleh karena itu terserah kepada "pasar bebas", mau membeli atau menolak. Maka tidak usah ribut dan repot.

Suatu hal positif dari pandangan demikian adalah pesan moral "jangan mudah menuduh dan melabeli pihak lain secara berburuk sangka, karena itu tidak bermoral atau mencerminkan moralitas superior dan arogan". Maka, kepada umat Islam, mulai sekarang jangan ada lagi yang saling mengkafirkan, saling menghina seperti kamu Wahabi, Salafi, atau Khilafati (maksudnya pendukung khilafah)! Sesuai Firman Ilahi, "yang menghina belum tentu lebih baik dari yang dihina". Allahu a'lam bis shawab.

Penulis: M. Din Syamsuddin Ketua Dewan Pertimbangan MUI





Reponsive Ads