Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Pages

Responsive Ad

Oposisi Merupakan Keharusan dalam Demokrasi

Capres 01 02 Perihal adanya kedekatan ideologis antara JKW dan Prabowo sejatinya sudah jadi bahasan menjelang pilpres 2014 karena keduanya m...

Capres 01 02

Perihal adanya kedekatan ideologis antara JKW dan Prabowo sejatinya sudah jadi bahasan menjelang pilpres 2014 karena keduanya mengusung idiom dan gagasan yang berhimpitan, bahkan dalam penjabaran programnya nyaris tanpa perbedaan berarti. Sejak Pilpres 2014, JKW dan Prabowo memang sama-sama mengusung isu-isu nasionalisme dan kemandirian.

Kemiripan ini pula yang mendorong saya dan beberapa sahabat purna aktivis kemahasiswaan, saat itu memilih untuk netral. Pilihan ini juga karena pertimbangan kian kerasnya polarisasi akibat dukung-mendukung. Bahkan beberapa sohib sempat nyeletuk, mengapa sih keduanya tak berpasangan saja sebagai Capres-Cawapres?

Polarisasi yang sama kini agaknya kembali menguak seiring gelaran Pilpres 2019. Hanya bedanya, agresivitas itu lebih terasa di kalangan pendukung Prabowo. Sesuatu yang dapat dimaklumi mengingat posisinya yang di luar pemerintahan, sehingga selain lebih militan biasanya lebih nyaring menyuarakan kegagalan petahana

Keberadaan oposisi sebagai penyeimbang, sejatinya merupakan kewajaran bahkan keharusan demokrasi. Ketidakpuasan terhadap capaian kekuasaan yang sedang memerintah, juga hal jamak disuarakan kubu oposisi. Toh pemilu adalah jalan demokratis bagi rakyat untuk melakukan evaluasi, bahkan untuk mengganti pemerintahan jika dipandang gagal.

Namun menjadi anomali demokrasi, jika pertunjukan kritik yang dilakukan oposisi tidak disertai pengungkapan fakta kegagalan secara cermat, mencoba mengabaikan keberhasilan, serta tidak berkemampuan memberikan alternatif konsep, sebagai anti tesa dari cara kerja rezim berkuasa yang mereka simpulkan telah gagal. Alih-alih memberikan pilihan, oposisi di Indonesia justru lebih sibuk meributkan hal-hal subjektif, yang sebenarnya menggeser persoalan utama, tentang debat kebijakan dan operasionalisasinya.

Jika pernyataan ini dianggap subjektif, barangkali bisa sama kita simak, paper visi misi kedua pasangan yang disampaikan resmi ke Komisi Pemilihan Umum(KPU). Paper 35 halaman dengan judul "Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju" yang berisikan 9 pijakan kebijakan 42 rincian agenda aksi milik pasangan JKW-Kyai Ma'ruf dan paper 15 halaman dengan judul "Empat Pilar Menyejahterakan Indonesia" yang berisi 4 pilar dengan 34 prioritas program.

Ternyata, stigma kegagalan yang disematkan pada petahana, kurang terefleksikan dalam rencana aksi pasangan Prabowo-Sandi, bahkan banyak diantaranya justru memberikan legitimasi atas capaian petahana. Misalnya rencana Prabowo-Sandi memperbaiki tata kelola migas, yang secara revolusioner telah dilakukan JKW lewat pengalihan pengelolaan 12 blok migas yang terminasi pada Pertamina, pembubaran Petral, BBM satu harga, serta pembangunan kilang minyak baru dan revitalisasi kilang minyak lama.

Contoh lain adalah komitmen meningkatkan transfer daerah, hal yang sebenarnya secara revolusioner juga telah dilakukan JKW, bahkan sejak APBN 2016 transfer daerah lebih besar ketimbang belanja pemerintah pusat. Begitu pula komitmen melakukan moratorium pemberian HGU/HGB, hal yang dalam beberapa tahun ini telah direalisir rezim JKW, dimana pemerintah lebih menghendaki intensifikasi (peningkatan produktivitas) ketimbang ekstensifikasi perkebunan.

Pada isu yang paling panas misalnya, tentang hutang luar negeri, paper Prabowo-Sandi menyebutkan "Memperbaiki tata kelola utang pemerintah dengan menggunakannya hanya untuk sektor-sektor produktif yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat, serta menghentikan praktik berhutang yang tidak sehat dan tidak produktif, seperti berhutang untuk membayar bunga utang dan membayar biaya rutin. Utang baru hanya bisa ditolelir jika berbasis pada pembiayaan proyek pembangunan yang spesifik".

Mengacu pada petikan dokumen di atas, selain tetap memandang hutang sebagai opsi pembiayaan, layaknya hanya bisa dialamatkan pada pemerintahan sebelum JKW yang memang gemar berhutang untuk keperluan konsumsi, bukan untuk hal yang produktif.

Jika begini, masih kah kumandang "ganti presiden" itu layak didengungkan?

Wallahu a'lam bishawab

Penulis: Ton Abdillah Has Ketum Angkatan Muda Majelis Dakwah Islamiyah, Koord Koalisi Nasional Relawan Muslim Indonesia

Reponsive Ads